Rabu, 22 Juni 2011

Masyarakat Dogiyai melanggar Norma Budaya Terhadap Ibu Kandungnya.

Wilayah Kamuu dan Mapia (KAMAPI) perkembangan budi daya pada beberapa tahun yang silam seperti perkebunan, peternakan, pengarapan tanah dan pengelolahan tanah (P5) sangat sameningkat kedua wilayah tersebut. Hal ini sangat terlihat berbagai keluhan oleh keluarga mereka, baik itu intern maupun lingkungan hidup dimana mereka berada disitulah berdialog dengan konteks-konteks membudayai. Kebiasaan suku Mee masalah Tanah sebelumnya di sebut-sebut Hak Ulayat. Tanah Hak Ulayat tersebut tidak ijin untuk diambil oleh keluarga yang terdekat dengan lahan atau pekarangan, sebab tanah tersebut termasuk Hak Ulayat dan diwariskan oleh Nenek-Moyang mereka. Dalam pekarangan itu juga nenek-moyang melarang keras bahwa isi pekarangan tersebut itu bukan sembarangan diambil begitu saja oleh tetangga atau keluarga yang terdekat, tetapi semua kekayaan itu termasuk Hak Ulayat, seperti dalam kandungan tanah maupun di atas tanah.
Untuk itu, sebelum pemerintah hadir di Kamuu dan Mapia (KAMAPI) sangat bagus pemandangannya dan strategis geografisnya mendukung, sehingga masyarakat kamuu dan mapia (KAMAPI) lancar dengan jual-beli, juga menghadirkan beberapa wilayah lainya, antra lain adalah Paniai dan Waghete. Hal ini disebabkan karena, salah satu hal karya yang terkenal oleh masyarakat Mapia adalah kacang tanah. Mata pencaharian masyarakat Mapia sangat senang dengan menanam dan memanen kacang tanah sehingga beberapa daerah tersebut berbondong-bondong datang beli hasil panennya.
Sedangkan nama kamuu munculnya setelah pemekaran Kecamatan/Distrik Moanemani barulah melingkup wilayah Kamuu. Masyarakat pun mengenal pohon Kopi Arabikha (KA). pohon kopi tersebut menyebar luas ke daerah-daerah dan kampung-kampung daerah itu sendiri sehingga muncullah nama barulah lagi, yaitu Kopi Murni Moanemani ( KOPMURMOA). Nama tersebut menerangi daerah Lembah Kamuu Moanemani ( LEHIM ) dan masyarakat tak diam setiap kampung mempunyai lahan Kopi Arabikha (KA) masing-masing. Pada saat itu juga semua masyarakat kamuu menikmati dan mengilhamkan cara menanam bibit kopi, sebab mereka tidak perlu meminta pelatihan atau pembina, tetapi hanya visual atau lisan saja mereka paham oleh hasil karya orang lain. Kelebihan ini sangat andalan bagi masyarakat Kabupaten Dogiyai, Paniai, dan Deiyai suku Mee khususnya dan pada umumnya masyarakat papua. Kebiasaan masyarakat suku Mee bertani, berkebun dan beternak. Kali ini ada tiga pertanyaan yang selalu saya tanyakan diri sendiri dan ketiga pertanyaan tersebut menarik bagi pandangan saya untuk beberapa kabupaten pedalaman yang terjadi di akhir-akhir ini adalah: Mengapa masyarakat suku Mee lupa menanam kacang Tanah dan petatas?Hal apa yang membuat sehingga masyarakat Mee lupa budidayakan kopi dan petatas? Apa perbedaan antara barang-barang modern dengan kekayaan alam yang sebelumnya?
Pertanyaan diatas sangat menarik, sebab setelah hadirnya beras JPS, Ayam Potong, dan Ikan laut masyarakat Mee berdiam di tempat untuk lupa menaman kopi, kacang tanah, beternak, dan berkebun. Masyarakat sangat rajin hitung-hitungan tanggal untuk menerima jata beras JPS yang mereka bayar dengan harga murah kira-kira 1 kg beras Rp, 5.000 sampai Rp, 7.000. Padahal makanan pokok orang Mee adalah petatas/ Nota, bukan beras. Dalam hal ini masyarakat Mee tidak mengerti untuk kedepan. Sekarang saya masih lanjut tanya lagi bahwa apakah masyarakat Mee punya lahan Sawa? Berapa hetar ladang Sawa?. Setelah beras JPS ini ditutup anda dan keluarga anda kemana? Hal ini kita harus mengerti sebab “Totaa maki, touye mana dana touto agiyo Nota, Nomo, ekina, ayam, bugi/tai” artinya sebelumnya sudah ada di beberapa daerah tersebut diatas adalah Petatas, keladi/bete, babi, ayam, dan kebun itu perlu di pegang oleh masyarakat. Seandainya beberapa hal tersebut diatas kita tidak melestarikan dengan baik, nantinya anda kemana?, apa yang terjadi keluarga anda di masa mendatang? Hal-hal ini sangat memahami masyarakat Paniai, Dogiyai, dan Deiyai (PANDODEI).
Satu hal yang sangat tidak mengerti oleh masyarakat Paniai, Dogiyai, dan Deiyai atau khususnya suku Mee akhir-akhir ini sangat menonjol ketiga Kabupaten jual-beli Tanah. Tanah adalah tempat mencari nafkah hidup keluarga, mengapa ibu kandung kita bisa di perjual-belikan? Masyarakat memahami dalam hal ini, sebab tiga kabupaten tersebut milik wisermerent.
Kedua daerah Kamuu dan Mapia sangat mendukung dengan hasil karya mereka, karena hadirnya kacang tanah dan Kopi Arabikha, kedua wilayah tersebut sanagt mengenal dimana-mana sampai ke luar daerah bahkan juga luar Negeri.
Harapan saya yang pertama khusunya kepada seluruh masyarakat kamuu dan mapia (KAMAPI) umumnya suku Mee bahwa sangat sulit melanggar norma-norma budaya kita tentang Hak Ulayat tanah, untuk itu bapak.ibu bila perlu tidak diperdagangkan ibu kandung kita yang menyusui saya dan kalian yang ada di daerah kamuu dan Mapia, bahkan Paniai dan Deiyai “tanah tidak diperbolehkan Jual-beli menurut adat budaya suku mee khususnya Kabupaten Dogiyai dan umumnya tanah papua, sebab hasil kekayaan membawa kita kaya dan manusia yang berguna di masa-masa mendatang”. Harapan yang kedua bahwa masyarakat melestarikan nota, nomo, bugi/tai, ayam dan ekina yang ada dari dulu, kini, ke masa mendatang. Harapan saya yang ketiga adalah daripada diperjual-belikan ke orang lain, bila perlu kasih ke Pemerintah Kabupaten Tingkat II Dogiyai. Untuk itu Kabupaten Dogiyai adalah milih kita, kata lain bukan saya, siapa lagi? Kalimat pertanyaan ini masyarakat Kamuu dan Mapia memahami,untuk mewujudkan motto kita “ Dogiyai Dou Enaa”.
Yosias Tebai: Mahasiswa Universitas DR.Soetomo Fakultas FIKOM Jurusan HUMAS

Jumat, 17 Juni 2011